Senin, 29 Desember 2014

Perjalanan Sejarah Kebijakan Migas

Sejak tahun 1962 dalam rangka mengimplementasi amanah konstitusi yang berbunyi penguasaan cabang produksi yg penting bagi hajat hidup orang banyak, Pemerintah melakukan usaha penguasaan kilang dan distribusi (yang sebelumnya dikuasai oleh SHELL dan STANVAC), melakukan usaha penyediaan BBM untuk dalam negeri, penyediaan minyak mentah untuk diolah yang disebut dengan sistem prorata (proporsional ) atau sekarang disebut dengan Domestic Market Obligation

Hal tersebut di atas merupakan secuil isi dari buku yang berjudul Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa, sejarah pertambangan dan energi indonesia. Buku yang diterbitkan pada tahun 2009 dengan ketua tim penyusun Djoko Darmono didampingi konsultan kesejarahan R.Z Leirissa dan Saleh As'ad Djamhari.  Bab 10 membahas tentang minyak dan gas bumi sebagai penggerak roda pembangunan.  

Dalam buku tersebut dituliskan bahwa produksi migas meroket sampai dengan 615,1 juta barel atau 1.685,3 ribu bph pada tahun 1977. Usaha perminyakan dilaksanakan oleh PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PN PERTAMINA) sejak tahun 1970. Satu tahun setelahnya disyahkan Undang - Undang nomor 8 tahun 1971 untuk memperkuat status PN PERTAMINA . Ketika status kewenangan dilindungi Undang - Undang justru malah menjadikan PN PERTAMINA melakukan kegiatan yg melampaui tugas pokoknya.  

Hal tersebut ditandai adanya pembeayaan kegiatan penunjang perminyakan sehingga pada tahun 1975 pemerintah perlu menerbitkan Instruksi Presiden agar perusahaan kontraktor minyak dan gas menyetor langsung ke Bank Indonesia tanpa melalui PN PERTAMINA.  Selain itu juga Presiden memerintahkan agar organisasi PN PERTAMINA dapat dirampingkan dan kemudian pucuk pimpinan PN pertamina pun diganti oleh Presiden RI dari Ibnu Sutowo ke Piet Haryono (eks Dirjen Anggaran DEPKEU).

Setelah pengakuan kedaulatan Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1949, kontraktor minyak asing yakni SHELL dan STANVAC menguasai fasilitas kilang dan jaringan distribusi. Penguasaan oleh kontraktor minyak asing tersebut tidak serta merta mendukung penyediaan BBM untuk dalam negeri termasuk usaha pemurnian dan pengolahan yang menjadi kebijakan pemerintah RI. Terlebih lagi pada tahun 1958 sebagai tahun mulainya semangat melaksanakan amanah konstitusi yang menghendaki agar cabang - cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan diselenggarakan oleh negara.  

Amanah konstitusi tersebut bertentangan dengan kepentingan kontraktor minyak asing . Krn kebebasan dalam menjalankan politik pemasarannya tidak sesuai. Oleh karena itu, pada tahun 1962 - 1966,  pemerintah Indonesia melakukan akuisisi seluruh kekayaan kontraktor asing SHELL dan STANVAC melalui PN PERTAMINA termasuk kilang dan fasilitas pemasaran.

Kilang sebagai aset vital bangsa indonesia antara lain kilang plaju, kilang wonokromo,  kilang pangkalan brandan sumatera utara, kilang cepu Jawa Tengah, kilang sungai gerong musi,  kilang sungai pakning Riau,  kilang putri tujuh dumai Riau, kilang cilacap Jawa Tengah, kilang balikpapan, kilang balongan Cirebon Jawa Barat, dan kilang mini kasim Papua Barat .
  
Keberadaan kilang kilang tersebut berpengaruh dengan kebijakan impor minyak untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.  Sejak tahun 1971, impor BBM telah dilakukan karena peningkatan kegiatan ekonomi dan kemampuan kilang tidak mengalami penambahan kapasitas. 

Kebijakan sistem prorata mengharuskan bagi kontraktor asing mengolah sendiri bagian minyak mentah dari produksinya sesuai dengan perbandingan tertentu. Kebijakan prorata diberlakukan sejak 1962. Jika kontraktor minyak asing tidak dapat mengolah, maka wajib untuk membeli dari PN PERTAMINA.

Dari kebijakan inilah kemudian yang salah satu akan melahirkan kebijakan subsidi BBM dimana subsidi pemerintah dipergunakan untuk menutup beaya penyediaan BBM untuk dalam negeri yang lebih besar daripada penjualan. Kontrak karya migas dengan bentuk Kontrak Bagi Hasil,  kontraktor minyak wajib memenuhi sebagian kebutuhan bahan bakar dalam negeri untuk keperluan Domestik Market Obligation sebesar maksimum 25 persen dari bagiannya dengan harga 0.2 dolar amerika per barel. 

Pada perkembangannya, kebijakan Migas yang terkait dengan amanah konstitusi serta terkait dengan penerimaan negara serta permasalahan pajak. Beberapa kebijakan migas antara lain sistem prorata 1962, kebijakan new deal 1974 dan kebijakan new term 1976, serta paket - paket insentif.

Tahun 1974 atas dasar kenaikan harga minyak mentah pemerintah merevisi kebijakan prorata. Revisi tersebut dilaksanakan dengan negosiasi dengan kontraktor minyak yang menghasilkan formula New Deal

Kemudian atas dasar mempertimbangkan penerimaan negara dari sektor migas, pada tahun 1976 kembali merevisi formula New Deal. Hasilnya kontraktor minyak menerima formula new term

Reaksi kontraktor minyak asing alih alih memperlambat kegiatan eksplorasi. Untuk itu pemerintah menetapkan kebijakan dengan memberikan insentif eksplorasi yaitu pembayaran fee atas penyerahan DMO untuk produksi lima tahun pertama pada ladang baru dengan harga ekspor. 

Selain itu untuk untuk meningkatkan produksi minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan paket insentif lain seperti penundaan pengembalian biaya, paket insentif pertama (1988), paket insentif kedua (1989), paket insentif ketiga ( 1992), dan paket insentif tahun 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar