Senin, 16 Februari 2015

perjalanan kebijakan migas (2)

Postingan yang berjudul 'perjalanan sejarah kebijakan Migas', adalah cuplikan buku 'Sejarah Pertambangan dan Energi sampai dengan Tahun 1994  BAB sepuluh. Sedangkan tulisan kali ini , penulis mengawali dengan mencuplik BAB 15 pada buku yang sama,  dengan  judul 'perkembangan kebijakan migas setelah era reformasi'.

Perkembangan kebijakan Migas ditandai dengan lahirnya UU Nomor 22 tentang Minyak dan Gas Bumi pada tanggal 23 November 2001. dengan UU tersebut maka Undang Undang tentang pertambangan minyak dan gas bumi tahun 1960 dinyatakan dicabut.  Begitu juga PERPU tentang kewajiban perusahaan minyak memenuhi kebutuhan dalam negeri tahun 1962. Pun demikian dicabutnya Undang - Undang tentang PERTAMINA tahun 1974.

Kebijakan Migas yang dibungkus dengan Undang Undang tersebut mengalami pertentangan secara konstitusional yang antara lain adalah;

1.Judicial Review 2003
Hal yang menjadi dasar dari pengajuan judicial review pada tahun 2003, Pengambilan keputusan pengesahan RUU migas dengan cara voting, pemberian kuasa pertambangan bukan kepada perusahaan negara,  BP MIGAS menyebabkan pengurangan perolehan negara,  pembentukan BPH MIGAS menambah mata rantai pemenuhan BBM untuk masyarakat.  

Mahkamah Konstitusi mengartikan pengertian dikuasai oleh negara dalam UUD 1945 tidak diartikan sebagai perdata atau privat.  Konsepsi kepemilikan privat harus diakui juga sebagai kepemilikan publik.  Mekanisme kepemilikan oleh negara diatur dalam kerangka fungsi legislasi oleh DPR bersama pemerintah.  Fungsi pengelolaan dilakukan oleh BHMN atau BUMN yang melibatkan publik atau kelompok masyarakat secara luas, fungsi pengawasan oleh pemerintah.

2. Judicial Review 2007
Dasar pengajuan judicial review tahun 2007, antara lain mengesampingkan fungsi pengawasan dikesampingkan ketika kontraktor migas dan BPMIGAS melakukan kontrak kerjasama.  Sehingga dalam hal ini DPR hanya menerima fotokopi kontrak,  itupun harus menunggu lama, menurut pemohon bahwa Krn terdapat kehendak UUD1945 sejauh perjanjian internasional seperti kontrak kerjasama migas menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat  harus mendapat persetujuan DPR. 

Penulis teringat dengan tokoh sebagai inisiator UU kearsipan yang memunculkan istilah baru yakni arsip terjaga yang salah kontrak karya,  dg mengamanahkan untuk segera menyampaikan fotokopi kontrak karya kepada arsip nasional RI (mendasarkan pengakuan salah satu anggota dewan yang sulit mendapatkan dokumen kontrak) . 
Hasil putusannya antara lain 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk Kerja Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 3. Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 dikarenakan frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 4. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, karena norma-norma yang terkandung bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila terutama sila ke 5 yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar