Postingan yang berjudul 'perjalanan sejarah kebijakan Migas', adalah cuplikan buku 'Sejarah Pertambangan dan Energi sampai dengan Tahun 1994 BAB sepuluh. Sedangkan tulisan kali ini , penulis mengawali dengan mencuplik BAB 15 pada buku yang
sama, dengan judul 'perkembangan kebijakan migas
setelah era reformasi'.
Perkembangan kebijakan Migas ditandai dengan lahirnya UU Nomor 22 tentang Minyak dan Gas Bumi pada tanggal 23 November 2001. dengan UU tersebut maka Undang Undang tentang pertambangan minyak dan gas bumi tahun 1960 dinyatakan dicabut. Begitu juga PERPU tentang kewajiban
perusahaan minyak memenuhi kebutuhan dalam negeri tahun 1962. Pun demikian
dicabutnya Undang - Undang tentang PERTAMINA tahun 1974.
Kebijakan Migas yang dibungkus dengan Undang Undang tersebut mengalami pertentangan secara konstitusional yang antara lain adalah;
1.Judicial Review 2003
Hal yang menjadi dasar dari pengajuan judicial review pada
tahun 2003, Pengambilan keputusan pengesahan RUU migas dengan cara voting, pemberian
kuasa pertambangan bukan kepada perusahaan negara, BP MIGAS menyebabkan pengurangan perolehan
negara, pembentukan BPH MIGAS menambah
mata rantai pemenuhan BBM untuk masyarakat.
Mahkamah Konstitusi mengartikan pengertian dikuasai
oleh negara dalam UUD 1945 tidak diartikan sebagai perdata atau privat. Konsepsi kepemilikan privat harus diakui juga
sebagai kepemilikan publik. Mekanisme
kepemilikan oleh negara diatur dalam kerangka fungsi legislasi oleh DPR bersama
pemerintah. Fungsi pengelolaan dilakukan
oleh BHMN atau BUMN yang melibatkan publik atau kelompok masyarakat secara luas,
fungsi pengawasan oleh pemerintah.
2. Judicial Review 2007
Dasar pengajuan judicial review tahun 2007, antara lain mengesampingkan fungsi pengawasan dikesampingkan ketika kontraktor migas dan BPMIGAS melakukan kontrak kerjasama. Sehingga dalam hal ini DPR hanya menerima fotokopi kontrak, itupun harus menunggu lama, menurut pemohon bahwa Krn terdapat kehendak UUD1945 sejauh perjanjian internasional seperti kontrak kerjasama migas menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat harus mendapat persetujuan DPR.
Penulis teringat dengan tokoh sebagai inisiator UU kearsipan yang memunculkan istilah baru yakni arsip terjaga yang salah kontrak karya, dg mengamanahkan untuk segera menyampaikan fotokopi kontrak karya kepada arsip nasional RI (mendasarkan pengakuan salah satu anggota dewan yang sulit mendapatkan dokumen kontrak) .
Dasar pengajuan judicial review tahun 2007, antara lain mengesampingkan fungsi pengawasan dikesampingkan ketika kontraktor migas dan BPMIGAS melakukan kontrak kerjasama. Sehingga dalam hal ini DPR hanya menerima fotokopi kontrak, itupun harus menunggu lama, menurut pemohon bahwa Krn terdapat kehendak UUD1945 sejauh perjanjian internasional seperti kontrak kerjasama migas menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat harus mendapat persetujuan DPR.
Penulis teringat dengan tokoh sebagai inisiator UU kearsipan yang memunculkan istilah baru yakni arsip terjaga yang salah kontrak karya, dg mengamanahkan untuk segera menyampaikan fotokopi kontrak karya kepada arsip nasional RI (mendasarkan pengakuan salah satu anggota dewan yang sulit mendapatkan dokumen kontrak) .
Hasil putusannya antara lain 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk Kerja
Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak
Kerja Sama” Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H
ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat 3. Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 dikarenakan
frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan
dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
4. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1
ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3)
UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
keseluruhan, karena norma-norma yang terkandung bertentangan
dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila terutama sila ke 5
yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.