Cumen cerita, Menyibak hikmah, ngaji, serba serbi, syukur, keseharian, hiburan, mikir, kearsipan

Senin, 18 November 2019

Inpassing 2

Penghapusan eselonisasi untuk digantikan dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, bisa jadi trending topik percakapan para ASN. Hal itu penulis simpulkan, lebih dari 230 pembaca sejak diunggah terkait Ilustrasi pengadaan arsiparis melalui jalur Penyesuaian atau Inpassing pada tautan 👇
https://muhamadonlinecom.wordpress.com/2019/11/15/impasing-jabatan-arsiparis/

Otaku kembali terusik untuk memperdalam hal yang berkaitan dengan pengadaan arsiparis non jalur formasi umum. Penulis yg menjadi pelaku saat mengisi formasi arsiparis melalui jalur umum di tahun 2009, menerima kenyataan bahwa mayoritas arsiparis di instansiku terdiri dari kelompok arsiparis pengadaan jalur impasing (arsiparis impasing)

Bisa jadi, kala itu formasi jalur umum sangatlah terbatas. Beberapa arsiparis senior di kantor yang hadir melalui jalur umum (arsiparis umum), kini telah beralih jalur ke pejabat struktural. Jadi praktis kondisi kearsipan secara jumlah lebih banyak arsiparis impasing dari pada arsiparis umum.

Pembinaan arsiparis terkait dengan menjaga kecukupan ketersediaan jumlah Arsiparis, terlihat kembang kempis. Strategi pencantuman formasi arsiparis pada peta jabatan harus berbenturan dengan kebijakan pimpinan saat pengadaan ASN pada urusan yang lain.

Ketepatan penyusun analisis beban kerja kearsipan dan pencantuman jumlah kebutuhan arsiparis tak juga dihiraukan tatkala prioritas organisasi berada di lain bidang (non ketatausahaan).

Instansi mana yang tidak meneriakkan kekurangan jumlah arsiparis? Permasalahan kurangnya arsiparis kemudian dijawab dengan dalih bahwa “sumber daya manusia kearsipan bukan hanya arsiparis semata”. Secara jelas tertulis di dalam ketentuan, pejabat struktural di bidang kearsipan dan pengelola arsip sebagai dua pelaku lain selain arsiparis.

Ketentuan yang berbentuk produk parlemen tentang kearsipan tahun 2009, belum juga menjadi tafsir dalam ketatalaksanaan sampai dengan penataan organisasi birokrasi yang berfihak pada urusan kearsipan.

Pemandangan umum di pemerintahan daerah baik tingkat 1 dan 2 terkait penggabungan numenkelatur perpustakaan dan kearsipan, hampir terjadi di seluruh Indonesia. Begitu pula numenkelatur jabatan struktural urusan kearsipan di pemerintahan pusat mentok pada level eselon 4.

Usulan menaikkan eselon 4 ke eselon 3 dengan mempertimbangkan adanya gedung depot arsip yang terpisah dengan kantor induk hanya menjadi suara yang tak ada realisasi.

Kemudian strategi yang paling realistis sebagaimana yang terjadi di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup bahwa pejabat eselon 4 yang menangani urusan kearsipan ditugaskan sebagai kepala kantor melalui Penetapan kuasa pengguna anggaran.

Namun demikian menurut penulis yang sempat melakukan kunjungan dan berbincang dengan Pejabat terkait, kelonggaran pengusulan program kegiatan anggaran masih menginduk pada Sekretariat Jenderal. Artinya bukan kepala kantor yang bersifat Satker.

Arahan Presiden tentang identifikasi unit yang berpotensi dihapuskan, mengecualikan kantor yang berbentuk satker terpisah. Kemudian muncul pendapat yang sudah telat, bahkan bisa jadi tidak masuk logika saat penyederhanaan birokrasi menjadi kebijakan kepala pemerintahan, adalah harapan munculnya eselonisasi baru untuk kepala Depot Arsip. Enggak lah ya….

Apa Mungkin arahan pergantian eselonisasi kok mau mengusulkan eselonisasi baru dengan sebutan kepada Depot Arsip???

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan, nantinya setelah penyederhanaan birokrasi benar terjadi, hanya ada beberapa pejabat struktural kearsipan di pemerintahan pusat yakni pejabat di Lembaga Kearsipan.

Karena di Kementerian dan lembaga non Kementerian (instansi pusat), belum ada jabatan struktural Eselon 2 yang secara khusus melakukan fungsi kearsipan.

Kenyataan ini sangat abasurd jika kita kaitkan dengan penilaian kinerja arsiparis sistem SKP. Bagi beberapa arsiparis termasuk penulis, sistem penilaian SKP menjadi kenyataan pahit.

Kenyataan bahwa jabatan arsiparis harus tidak berdaya menolak dukungan target kinerja eselon. Sasaran kinerja arsiparis harus menunjukkan cascading penetapan kinerja organisasi bersangkutan.

Penulis merasa, sistem penilaian SKP dengan dihadapkan dengan penyederhanaan birokrasi harus didudukkan pada penghormatan jabatan yang menghargai keahlian.

Jangan lah menjadikan sistem penilaian kinerja arsiparis seolah menjadi pelayan pencapaian kinerja organisasi,namun didudukkan dalam pembangunan kearsipan secara nasional.

#####

Ada juga kenyataan yang juga tidak manis, bisa dibilang pahit, tatkala respon beberapa arsiparis jalur umum memandang miring kelompok arsiparis impasing.
“inpassing:kuantitas,kualitas dan realitas…ra nyambung” kata seorang arsiparis pemerintah pusat di WAG.

Wajar saja kalimat arsiparis tersebut jika memang pernah kerja bareng dengan para arsiparis impasing. Tak dipungkiri bahwa arsiparis dari jalur umum lebih percaya diri membawakan urusan kearsipan ketimbang arsiparis impasing.

Hampir mirip dengan temen lain yang Juga berasal dari jalur umum dan berkantor di Jakarta.
[15/11 14.44] arsiparis: Lg dibahas masalah tsb, tapi ketika ikut bahas jd ngelus dada je. Khusus nya pembahasan di anri sbg pembina arsiparis, lebih memberi kemudahan pns yg impasing, tp yg melalui jenjang karir dipersulit dgn harus diklat dan ujikom serta persyaratan yg tidak tercantum pd permenpan

Akhirnya, tulisan ini Penulis tetap berada pada pihak yang konservatif. Selamat datang arsiparis impasing. Selain perlindungan BUP dan kelas jabatan, masih banyak keuntungan menjadi arsiparis, salah satunya adalah tanpa kerja arsip sennyatanya, asal mengumpulkan penilaian kinerja dan tidak melanggar disiplin, dapat diusulkan naik pangkat.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar: